Rektor Terpilih Bukan Alumni UKSW, Kenapa Salahkan Pembina?

Rektor Terpilih Bukan Alumni UKSW, Kenapa Salahkan Pembina?
Alumni UKSW angkatan 86 yang juga mantan pembina Yayasan Pendidikan Tinggi Kristen Satya Wacana 2013-2015, Eka TP Simanjuntak

HARIANNKRI.ID – Terpilihnya IU menjadi rektor Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) periode 2022-2027 diyakini dewan pembina sebagai pilihan tepat untuk memajukan salah satu perguruan tinggi Kristen terbaik di Indonesia ini. Meski bukan alumni, IU adalah kandidat terbaik diantara 7 nama yang ada serta memahami visi misi lembaga pendidikan tersebut.

Klaim ini disampaikan oleh mantan pembina Yayasan Pendidikan Tinggi Kristen Satya Wacana 2013-2015, Eka TP Simanjuntak. Ia mengaku prihatin akan terpilihnya IU sebagai rektor UKSW periode 2022-2027 memicu pro kontra hingga berujung 2 alumni menggugat 39 orang, termasuk dewan pembina dan rektor terpilih. Pro kontra tersebut pun marak di media sosial dan menjadi sorotan media massa lokal maupun nasional. Eka pun memutuskan untuk menghubungi hariannkri.id dengan maksud menjernihkan permasalahan yang ada.

“Saya ingin informasi yang ada di hariannkri.id ini betul-betul dipahami apa yang sedang terjadi dibalik gugatan 2 alumni UKSW ke dewan pembina dan rektor terpilih. Saya ingin memberikan komentar yang logis. Mengklarifikasi, sehingga cara berfikirnya itu bisa lurus. Saya tidak tertarik kalau hanya berbantah-bantahan dengan orang-orang itu,” kata Eka kepada hariannkri.id melalui sambungan selular, Jumat (13/1/2023).

Dalam kontek pemilihan rektor UKSW, lanjutnya, secara prosedural, panitia seleksi telah memberikan 7 nama kepada senat universitas. Dari 7 nama tersebut, senat universitas kemudian memberikan usulan 3 nama kepada dewan pembina. Dewan pembina selanjutnya memilih dari nama yang diusulkan.

“Pembina harus memilih yang terbaik dan kebetulan alumninya kalah dengan yang bukan (alumni UKSW-red). Kenapa pembina yang disalahkan? Cuma gara-gara alasan sentimentil,” ujar konsultan pendidikan ini.

Terkait dengan “keharusan” rektor adalah alumni dengan alasan memahami betul visi dan misi UKSW, Eka mengaku tidak meragukan IU. Menurutnya, IU adalah sosok yang cukup mumpuni dan layak memimpin salah satu universitas Kristen tertua di Indonesia ini.

“Dia sudah lama kerja di UKSW. Apa ada yang bisa memastikan pemahamannya tentang visi dan misi Satya Wacana-nya lebih rendah dibanding alumni?” imbuhnya.

Pegiat pendidikan nasional ini menilai, tidak terpilihnya alumni adalah kesalahan senat universitas sendiri. Mereka disebut Eka tidak memanfaatkan dengan baik 7 calon rektor yang ada dengan tidak mengusulkan orang-orang terbaik.

“Untuk melihat ini, kita tidak bisa hanya melihat pemilihannya, kemudian terpilihlah IU. Lalu itu yang dipersoalkan. Ini harus dilihat sebagai satu proses rangkaian,” tegas Eka.

IU Tidak Termasuk 3 Nama Yang Diusulkan Senat Universitas

Agar memahami proses terpilihnya IU sebagai rektor UKSW periode 2022-2027 dengan benar, Eka meminta semua pihak untuk melihat lebih jauh ke belakang tentang terkait terbentuknya senat universitas. Jika dahulu, yang memutuskan siapa yang mewakili fakultas untuk duduk di senat universitas adalah dosen dan staff fakultas.

“Sekarang tidak, ditunjuk oleh rektor. Artinya, semua senat, adalah orang rektor, kecuali profesor. Tapi profesor Satya Wacana itu jumlahnya tidak signifikan,” sambungnya.

Jadi, ungkapnya, munculnya 3 nama orang untuk menjadi rektor, sangat ditentukan oleh “orang-orang” rektor. Eka meyakini, mereka memasukkan yang tiga nama yang semuanya adalah orang-orang mereka sendiri.

“Jadi gengnya rektor ini mengusulkan tiga orang yang dari mereka-mereka sendiri. Lalu diajukan ke pembina,” tegasnya.

Masuknya IU Dalam 3 Besar Kandidat Rektor UKSW

Ia memaparkan, diantara tiga nama yang diusulkan oleh senat mahasiswa, terdapat nama RT. Masuknya nama RT sebagai kandidat ternyata mendapat protes dari sebagian pembina dengan alasan seharusnya RT tidak memenuhi syarat. Ia diprotes karena karena SK kenaikan jabatan akademiknya sebagai Lektor Kepala baru terbit pada saat tengat waktu penjaringan yang ditetapkan panitia sudah habis.

“Lalu dikeluarkanlah nama RT. Nah, sekarang kan tinggal dua karena ditinggalkan oleh R. Yang dilakukan oleh pembina adalah, dari 7 nama awal itu kan sisa 4. Keempat orang ini diminta untuk rembukan mengajukan salah satu diantara mereka,” tandas Eka.

Menurut penjelasan alumni UKSW angkatan 86 ini, dewan pembina memang tidak mengembalikan pengusulan 1 slot kosong ini ke senat universitas. Eka mengklaim, dewan pembina punya asalah yang kuat sehingga terpaksa mengambil alih hak tersebut.

“Karena kalau dibalikkan ke senat universitas, mereka  gak mau. Maunya R, walaupun R sudah tidak memenuhi syarat. Jadi oleh pembina tidak dikembalikan, tapi pembina mengambil alih,” sebutnya.

Eka menekankan, dewan pembina sudah memberikan kesempatan kepada senat universitas untuk mengusulkan 3 nama. Namun yang terjadi, menurut dewan pembina, senat universitas malah memilih mengusulkan orang yang salah.

“Tidak bisa (menyetujui 3 nama yang sudah diajukan senat universitas-red). Karena ada yang melanggar. Tidak memenuhi syarat, masa mau diterima. Oleh pembina akhirnya dibatalkan,” tutur Eka.

Dewan pembina pun memutuskan meminta 4 nama yang tidak dipilih senat universitas untuk menentukan satu nama mengisi kekosongan slot. Dari musyawarah itulah akhirnya nama IU masuk dalam 3 nama yang disetujui pembina sebagai calon rektor.

“Harusnya kan begitu. Pembina tidak memilih diluar yang tujuh. Kalau pembina memilih diluar yang tujuh, itu namanya pembina ngaco. Pembina hanya prosesnya dipercepat. Dari tiga ini, dua alumni Satya Wacana, sementara IU bukan,” ungkap Eka.

Mengapa Dewan Pembina Memilih IU?

Menurut Eka, sebagai salah satu universitas Kristen yang besar ada kriteria tertentu yang mendasari pembina memilih seseorang menjadi rektor. Diantara kriteria utama adalah prestasi akademik serta kemampuan manajemen. Sebagai seorang konsultan dan pegiat pendidikan nasional, dua kriteria ini menurutnya harus menjadi tolak ukur utama.

“Kalau dilihat dari prestasi akademik dan managerialnya, ya memang bu IU itu yang paling menonjol. IU profesor, yang dua lagi baru doktor. Kalau soal gelar, IU berderet-deret. Saya memberi penilaian ini, saya gak kenal sama bu IU. Saya gak pernah ketemu, saya gak pernah kontak, saya tidak kenal dia secara langsung. Jadi saya disini saya bisa mengatakan, saya objektif. Kalau N (salah satu kandidat-red) itu saya kenal baik sejak dulu. Dia junior saya, dulu sering berkomunikasi sama dia. Yang satu lagi saya gak kenal,” kata Eka.

Dan benar, lanjutnya, para pembina pun memilih secara voting, dan terpilihlah IU dengan perbedaan jumlah suara yang signifikan. Eka mengaku bingung, begitu nama IU yang terpilih, mengapa ada pihak yang menyalahkan pembina.

Logikanya, menurut Eka, yang mengusulkan nama dua orang yang kalah dalam voting adalah senat universitas. Seharusnya, pihak yang saat ini menyalahkan dewan pembina, mempertanyakan keputusan senat universitas. Padahal, dari 4 nama yang tidak diusulkan senat mahasiswa, ada alumni UKSW yang bergelar profesor.

“Kalau tiga nama yang diusulkan oleh senat universitas disetujui, ya memang mungkin petahana yang akan menang. Tapi kan mereka tidak menduga bahwa ini ada satu yang masuk lagi, profesor. Giliran pembina memilih berdasarkan kriteria segala macam, kenapa pembina yang disalahkan? Ini kan universitas besar yang sekarang semua universitas berlomba jadi yang terbaik, malah pembina disuruh memilih jelek atau baik yang penting alumni. Kan itu aneh. Ini cara berfikir yang menurut saya kuno,” tegas Eka

Haruskah Rektor Dari Alumni?

Eka meminta semua pihak untuk melihat daftar 50 universitas terbaik dunia. Apakah semua rektor di universitas tersebut berasal dari alumni? Jawabannya menurut Eka adalah tidak. Ia meyakini, tidak ada jaminan bahwa universitas jadi hebat karena dipimpin alumni. Bahkan di Australia, ada universitas terkenal yang rektornya bukan alumni, bahkan bukan warganegara Australia. Mereka menjadi rektor bukan karena faktor historis, namun memang karena orang yang terbaik.

“Kalau tiba-tiba ada mantan rektor dari universitas top di Australia ngelamar jadi rektor, masa ditolak hanya karena dia bukan alumni? Tidak ada yang salah dengan pembina memilih IU itu. Karena memang lawan yang diberikan itu lemah-lemah,” ujarnya.

Signifikansi Rektor UKSW Harus Alumni

Eka menerangkan, sudah pasti rektor pertama UKSW bukanlah alumni UKSW. Rektor kedua pun demikian.

“Selama Satya Wacana dipimpin oleh mereka berdua, apa kemudian Satya Wacana tidak berkembang? Apa poinnya bahwa Satya Wacana harus dipimpin oleh alumni?” tukas Eka.

Jika melihat perkembangan sekarang ini, sambungnya, seharusnya semua civitas akademika berfikir realistis. Kalau memang ada alumni yang prestasi akademik dan manajerialnya baik, ya pilihlah alumni itu. Tapi jika ternyata bukan yang terbaik dan kalah dengan yang bukan alumni, seharusnya juga bisa diterima.

“Kenapa bukan alumni yang terbaik yang dimasukkan? Kenapa cuma yang dua itu? Yang jelas-jelas gelarnya profesor pun tidak. Semua orang kan pinginnya profesor, lalu kenapa yang dipilih, diusulkan oleh senat itu bukan profesor? Dari situ aja sudah ketahuan kan,” ungkapnya.

Eka menuturkan, sebenarnya banyak civitas akademika yang merasa aneh pada terpilihnya rektor pada periode sebelumnya. Meski begitu banyak profesor di UKSW, mengapa yang menjadi rektor justru yang bukan profesor. Karenanya, rasanya tidak adil menurut Eka jika pemilihan rektor harus didasari atas sentimen alumni.

“Disitu gak fair-nya. Kenapa pembina yang disalahkan? Padahal pembina itu sudah memberi kesempatan, usulkan. Mereka yang tidak memanfaatkan itu dengan mengusulkan yang dua yang bukan profesor itu. Kenapa jadi pembina yang salah?” tutup Eka. (OSY)

Loading...